Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kiai Mamak
Kiai Muhammad bin Muafi, pengasuh PP Nazhatut Thullab, Sampang. Foto/tangkap layar/Facebook/ppnurutthullab

Penjelasan tentang Aurad dan Hizb dalam Islam Menurut Kiai Mamak



KNPI

Berita Baru Madura, Khazanah – Suatu hari Kiai Muhammad bin Muafi atau yang akrab dipanggil Kiai Mamak, Pengasuh PP Nazhatut Thullab Prajjan, Camplong, Sampang didatangi dua alumni pesantrennya. Keduanya itu bertanya sekaligus meminta ijazah dan beberapa wiridan kepada Kiai Mamak.

“Saya pun menjelaskan sesuai pemahaman yang saya miliki, sekalian bercerita aurad (bentuk jamak dari wirid) mana saja yang saya jalani sebagai lelaki. Termasuk juga tentang pentingnya sanad dalam aurad dan hizb. Tak lupa beberapa kebaikan yang bisa dihasilkan pengamalan secara istiqomah dari setiap amalan,” cerita Kiai Mamak dikutip Senin (28/3/2022), dari akun Instagram miliknya, @muhammadbinmuafi.

Setelah semua pernak pernik seputaran aurad tersampaikan, Kiai Mamak membuka obrolan tentang motivasi mereka meminta ijazah aurad. Menurut dia aurad adalah sesuatu yang umum diamalkan oleh banyak umat islam sejak dulu kala.

“Susunan kalimat dzikir yang dipilih dan dipadupadankan oleh para ulama arif billah, dan bersumber dari petikan Al-Quran serta Al-Hadits, selain sebagai lelaku mendekatkan diri pada Tuhan semesta, aurad juga sangat baik untuk diamalkan sebagai varian atau cara lain mengungkapkan harapan pada Tuhan,” jelas Kiai Mamak tentang pengertian aurad.

“Tentunya selain doa umum yang bersifat kalimat langsung. Karena seperti kita tahu, selain karena unsur kata yang mengandung doa, secara parsial beberapa ayat atau kalimat dzikir mengandung beberapa sirr dan manfaat jika diamalkan secara continue,” sambungnya.

Namun yang menarik, menurut Kiai Mamak, adalah sebuah fenomena bahwa akhir-akhir ini banyak orang melupakan esensi wiridan dan cenderung berharap wiridan menjadi ajian sapu jagad atau bahkan the only way untuk tercapainya sebuah pengharapan.

“Sehingga tak jarang kita temui, ada beberapa orang yang mengamalkan wiridan dan melupakan ikhtiar untuk mengusahakan asbab (jamak dari sebab, suatu hal yang menjadi urutan premis sebuah taqdir terjadi, seperti sakit menjadi sebab kematian). Asumsi yang umum dipahami adalah bahwa pengamalan wiridan tersebut pada level maksimal secara otomatis akan menuntun terangkainya taqdir untuk terkabulnya sebuah harapan,” katanya.

Di sinilah kemudian Kiai Mamak menjelaskan apa yang dipahaminya tentang konsep taqdir pada kedua alumni yang meminta ijazah aurad tadi.

“Sepanjang yang saya pahami, doa dan ikhtiar adalah dua mata koin yang saling menunjang. Satu dan lainnya saling melengkapi. Ikhtiar mengusahakan asbab secara fisik bagi sebuah harapan. Dan doa mendorong persetujuan Tuhan agar terjadinya asbab yang telah diikhtiyarkan tadi menjadi jalan harapan tersebut menjadi taqdir,” sambungnya.

Kiai Mamak pun menilai memang tak salah untuk berharap Tuhan dengan segala sifat Maha-Nya akan membuat sebuah mekanisme simsalabim atau kun fayakun. Tanpa asbab, taqdir tetap bisa terangkai.

Namun dia juga berpesan, jangan lupa bahwa Tuhan juga membuat mekanisme normal duniawi bagaimana sebuah taqdir idealnya akan terjadi. Sebuah urutan rentetan sebab lalu menjadi taqdir. Sehingga, sambung Kiai Muhammad, mayoritas taqdir menjadi sebuah hal yang masuk akal bagi manusia-bahkan yang atheis sekalipun-.

“Sebagai contoh; sebuah kematian seringkali diawali oleh sakit atau kecelakaan. Sebuah kesembuhan nyaris selalu diawali usaha pengobatan. Masalah kemudian Tuhan menciptakan beberapa keajaiban kecil atau khowariq (hal diluar nalar) dan atau kelancaran selama orang tersebut berproses, itu pun sebenarnya adalah bagian dari persetujuan-Nya. Dan itulah yang menjadi prosedur tetap dari mayoritas taqdir untuk menjadi terwujud,” ujar Kiai Mamak mencontohkan.

Meski demikian, menurut dia, tak dapat dinafikan bahwa ada juga beberapa orang yang mendapatkan sebuah taqdir yang terjadi tanpa proses rentetan sebab. “Tiba-tiba meninggal tanpa sakit. Tiba-tiba cerdas tanpa proses belajar (umumnya dibahasakan dengan istilah ladunni),” jelasnya.

“Namun rasionya cenderung sedikit dibanding taqdir yang melalui urutan sebab. Itupun dalam satu perspektif, hal-hal ‘ajaib tanpa asbab’ di atas seringkali lebih sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan eksistensi-Nya. Yakni suatu bukti akan keberadaan-Nya,” sambung Kiai Mamak.

Maka aurad itu, dia berkesimpulan, baik. Sama juga baiknya seperti ikhtiar. “Mereka saling mengisi satu sama lain. Semakin kencang wiridannya, mestinya semakin kencang juga usahanya. Dan sebaliknya, semakin kita menggebu-gebu dalam usaha, semakin mudah terkabulkan dan terberkahi usaha atau ikhtiyar kita tadi jika dibarengi dengan wirid dan doa. wallahu a’lam bis showaab,” tutupnya.