Yusril Ihza Mahendra: Nelson Mandela dan Pangeran dari Madura
Saya ingin menulis sedikit kenangan tentang Nelson Mandela yang telah wafat. Saya tidak ingat persis tahun berapa, waktu itu saya sudah di Sekretariat Negara. Mensesnegnya Pak Moerdiono (alm).
Waktu itu Nelson Mandela baru saja dibebaskan dari penjara regim apartheid Afrika Selatan. Beliau berkunjung ke Jakarta. Pemerintah RI sangat menghormati Mandela dan mendukung perjuangannya menghapus apartheid di Afrika Selatan.
Mendela datang ke Jakarta meminta dukungan dalam posisinya sebagai Ketua African National Congress (ANC), sebuah partai politik di Afrika Selatan. Namun Presiden Soeharto menerimanya persis menerima seorang kepala pemerintahan.
Mandela diterima dengan perlakuan yang sama terhadap Yasser Arafat, Ketua Fatah, harakat al-tahrīr al-watanī al-filastīnī, organisasi pejuang kemerdekaan Palestina. Dalam pembicaraan dengan Presiden Soeharto, Mandela bukan hanya minta dukungan politik, tetapi juga dukungan finansial untuk perjuangannya.
Saya ingat waktu itu, Pak Harto membantu uang tunai 250 ribu Dollar Amerika kepada Mandela. Bantuan itu diserahkan pribadi kepada Mandela. Saya ingat Pak Moediono katakan waktu itu, “Gimana ya caranya kita mau bantu. Pemerintah kan tidak bisa kashi uang ke partai di negara lain?”
Saya ingat peristiwa itu mirip ketika Perdana Menteri Natsir menerima Ben Bella, pejuang Aljazair yang datang ke Jakarta tahun 1950. Ben Bella juga meminta dukungan politik dan finansial.
Pemerintah RI memberikan emas beberapa kilogram kepada Ben Bella. Itu cerita Mohammad Natsir kepada saya. Pak Natsir bilang, beliau beli emas di Jalan Kenanga, Senen, untuk diberikan kepada Ben Bella.
Suatu hari saya pergi ke Afrika Selatan sebagai Menteri Kehakiman RI. Saya menghadiri Konvensi PBB di sana, saya bertemu Mandela, Yasser Arafat, dan Fidel Castro di Johannesburg. Mandela mengatakan kepada saya tentang sebuah kuburan di Robin Island, tempat dia pernah dipenjarakan, yang menjadi misteri baginya.
Dalam kunjungan kedua ke Afsel, saya menyempatkan diri datang ke Pulau Robin di lepas pantai Capetown di Pulau Robin. Pulau Robin itu rupanya sebuah penjara sejak Belanda menguasai Afrika Selatan abad 16. Di Pulau Robineka dipenjara selama 29 tahun oleh regim apartheid.
Begitu saya mendarat di pulau Robin, persis di depan gerbang penjara ada sebuah kuburan yang dikeramatkan leh kaum Muslimin di sana. Saya pun datang ke kuburan keramat yang ada mushollanya itu untuk sholat ashar. Beberapa jemaah tertarik melihat saya datang ke kuburan itu, yang sangat banyak sekali dupanya.
Seorang jemaah bertanya pada saya apakah saya orang Indonesia. Saya jawab, “Ya!” Dia mengatakan bahwa dia keturunan Melayu. Orang itu mengatakan bahwa ketika Mandela dibebaskan dari penjara, dia mampir ke kuburan keramat itu. Mandela berkata, “Apalah artinya saya dipenjara di pulau ini selama 29 tahun, dibanding orang ini, sambil menunjuk ke kubur keramat itu!”
Orang ini! kata Mandela, “saya tidak tahu dari mana asalnya. Tampaknya dia seorang pejuang di negerinya sehingga dia begitu dihormati. ”
“Orang ini,” kata Mandela, “dipenjarakan penjajah sampai dia mati di pulau ini. Dia tak pernah pulang ke negerinya. ”
Saya tertegun mendengar cerita orang itu, dan saya pun masuk ke makam keramat itu setelah solat di mushollanya. Di dinding makam itu ada tulisan berbagai bahasa. Saya baca tulisan berbahasa Inggris. Tulisannya menyebutkan “makam Syaikh Mathura, orang pertama yang membaca Alquran di Afrika Selatan.”
Saya pun bertanya, “Siapa itu Shaikh Mathura?” orang itu menjawab, “Sepertinya dia berasal dari negara Anda, sama seperti Syeikh Yusuf.”
Sayapun membaca beberapa literatur di Capetown dan akhirnya tahu bahwa Shaikh Mathura adalah Cakraningrat IV dari Madura. Dia seorang pangeran di Madura yang melawan Belanda, lalu ditangkap dan dibuang ke Afrika Selatan sampai akhir hayatnya.
Barulah saya sadar bahwa orang yang kuburannya dikeramatkan di Pulau Robin adalah Cakraningrat IV dari Madura. Ketika saya seseorang Mensesneg saya perintahkan Sekretaris Militer Kepresidenan untuk berkoordinasi menelaah riwayat perjuangan Cakraningrat IV.
Saya katakan, “Kalau cukup alasan, maka Presiden memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Cakraningrat IV. Kalau Syekh Yusuf al-Makassari sudah diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pak Harto.
Saya pernah dua kali berziarah ke makam Syeikh Yusuf di kota yang namanya Macassar di Afrika Selatan. Namun sampai saya diberhentikan sebagai Mensesneg, kajian sejarah perjuangan Cakraningrat IV belum selesai. Sampai sekarang, Cakraningrat IV belum diberi status sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden kita.
Demikian tulisan saya untuk mengenang Mandela yang baru saja wafat meninggalkan kita semua.
*Prof. Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tatanegara, mantan Mensesneg, ketua Majelis Syuro PBB
Sumber: lontarmadura.com